Bentuk
sistem kekerabatan berdasarkan garis keturunan (genealogi) terlihat dari silsilah marga mulai dari Si Raja Batak, dimana
semua suku bangsa Batak memiliki marga. Sedangkan kekerabatan berdasarkan wilayah pemukiman
yang terlihat dari terbentuknya suatu tradisi adat-istiadat di setiap wilayah.
Untuk
menggambarkan betapa kedua bentuk kekerabatan ini memiliki daya rekat yang
sama, ada perumpamaan dalam bahasa Batak Toba yang berbunyi: Jonok dongan
partubu jonokan do dongan parhundul. Artinya, semua orang mengakui bahwa
hubungan garis keturunan adalah sudah pasti dekat, tetapi dalam sistem
kekerabatan Batak lebih dekat lagi hubungan karena bermukim di satu wilayah.
Begitu
juga dengan masyarakat Batak Toba yang bermukim di kota Medan, kekerabatan
mereka menjadi sangat “kental”, dikarenakan merasa dalam satu wilayah
perantauan yang sama, dan memiliki ikatan yang erat sesama masyarakat Batak
Toba, walaupun mereka kebanyakan bukan dari garis keturunan yang sama (semarga),
namun kedekatan sesama masyarakat Batak Toba di kota Medan tetap terjalin
dengan sangat baik, hal ini terbukti dari setiap pelaksanaan upacara adat,
maupun upacara keagamaan yang dilaksanakan masyarakat Batak Toba di kota Medan,
dimana saat upacara berlangsung maka masyarakat Batak Toba yang ada di wilayah
tersebut akan turut berpartisipasi dan menghadiri acara tersebut.
Masyarakat
Batak memiliki falsafah atau azas sekaligus sebagai struktur dan sistem dalam
kemasyarakatannya yakni Tungku nan Tiga atau dalam Bahasa Batak Toba disebut Dalihan na
Tolu, yakni Hula-hula,
Dongan Tubu dan Boru.
- Hula-hula adalah pihak keluarga dari isteri. Hula-hula ini menempati posisi yang paling dihormati dalam pergaulan dan adat-istiadat Batak (semua sub-suku Batak). Sehingga kepada semua orang Batak dipesankan harus hormat kepada Hulahula (Somba marhula-hula).
- Dongan Tubu disebut juga Dongan Sabutuha adalah saudara laki-laki satu marga. Arti harfiahnya “lahir dari perut yang sama”. Mereka ini seperti batang pohon yang saling berdekatan, saling menopang, walaupun karena saking dekatnya terkadang saling “gesek”. Namun pertikaian tidak membuat hubungan satu marga bisa terpisah. Diumpamakan seperti air yang dibelah dengan pisau, kendati dibelah tetapi tetap bersatu. Namun demikian kepada semua orang Batak (berbudaya Batak) dipesankan harus bijaksana kepada saudara semarga. Diistilahkan, manat mardongan tubu.
- Boru adalah pihak keluarga yang mengambil isteri dari suatu marga (keluarga lain). Boru ini menempati posisi paling rendah sebagai “parhobas” atau pelayan baik dalam pergaulan sehari-hari maupun (terutama) dalam setiap upacara adat. Namun walaupun burfungsi sebagai pelayan bukan berarti bisa diperlakukan dengan semena-mena. Melainkan pihak boru harus diambil hatinya, dibujuk, diistilahkan dengan elek marboru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar