Selasa, 24 September 2013

Sistem Kekrabatan masyarakat Batak Toba

Ada dua bentuk sistem kekerabatan bagi suku Batak Toba, yakni berdasarkan garis keturunan (genealogi) dan berdasarkan wilayah pemukiman (teritorial).
Bentuk sistem kekerabatan berdasarkan garis keturunan (genealogi) terlihat dari silsilah marga mulai dari Si Raja Batak, dimana semua suku bangsa Batak memiliki marga. Sedangkan kekerabatan berdasarkan wilayah pemukiman yang terlihat dari terbentuknya suatu tradisi adat-istiadat di setiap wilayah.
Untuk menggambarkan betapa kedua bentuk kekerabatan ini memiliki daya rekat yang sama, ada perumpamaan dalam bahasa Batak Toba yang berbunyi: Jonok dongan partubu jonokan do dongan parhundul. Artinya, semua orang mengakui bahwa hubungan garis keturunan adalah sudah pasti dekat, tetapi dalam sistem kekerabatan Batak lebih dekat lagi hubungan karena bermukim di satu wilayah.
Begitu juga dengan masyarakat Batak Toba yang bermukim di kota Medan, kekerabatan mereka menjadi sangat “kental”, dikarenakan merasa dalam satu wilayah perantauan yang sama, dan memiliki ikatan yang erat sesama masyarakat Batak Toba, walaupun mereka kebanyakan bukan dari garis keturunan yang sama (semarga), namun kedekatan sesama masyarakat Batak Toba di kota Medan tetap terjalin dengan sangat baik, hal ini terbukti dari setiap pelaksanaan upacara adat, maupun upacara keagamaan yang dilaksanakan masyarakat Batak Toba di kota Medan, dimana saat upacara berlangsung maka masyarakat Batak Toba yang ada di wilayah tersebut akan turut berpartisipasi dan menghadiri acara tersebut.
Masyarakat Batak memiliki falsafah atau azas sekaligus sebagai struktur dan sistem dalam kemasyarakatannya yakni Tungku nan Tiga atau dalam Bahasa Batak Toba disebut Dalihan na Tolu, yakni Hula-hula, Dongan Tubu dan Boru.
  • Hula-hula adalah pihak keluarga dari isteri. Hula-hula ini menempati posisi yang paling dihormati dalam pergaulan dan adat-istiadat Batak (semua sub-suku Batak). Sehingga kepada semua orang Batak dipesankan harus hormat kepada Hulahula (Somba marhula-hula).
  • Dongan Tubu disebut juga Dongan Sabutuha adalah saudara laki-laki satu marga. Arti harfiahnya “lahir dari perut yang sama”. Mereka ini seperti batang pohon yang saling berdekatan, saling menopang, walaupun karena saking dekatnya terkadang saling “gesek”. Namun pertikaian tidak membuat hubungan satu marga bisa terpisah. Diumpamakan seperti air yang dibelah dengan pisau, kendati dibelah tetapi tetap bersatu. Namun demikian kepada semua orang Batak (berbudaya Batak) dipesankan harus bijaksana kepada saudara semarga. Diistilahkan, manat mardongan tubu.
  • Boru adalah pihak keluarga yang mengambil isteri dari suatu marga (keluarga lain). Boru ini menempati posisi paling rendah sebagai “parhobas” atau pelayan baik dalam pergaulan sehari-hari maupun (terutama) dalam setiap upacara adat. Namun walaupun burfungsi sebagai pelayan bukan berarti bisa diperlakukan dengan semena-mena. Melainkan pihak boru harus diambil hatinya, dibujuk, diistilahkan dengan elek marboru.
Namun bukan berarti ada kasta dalam sistem kekerabatan Batak. Sistem kekerabatan Dalihan na Tolu adalah bersifat kontekstual. Sesuai konteksnya, semua masyarakat Batak Toba pasti pernah menjadi Hula-hula, juga sebagai Dongan Tubu, juga sebagai Boru. Jadi setiap orang harus menempatkan posisinya secara kontekstual. Sehingga dalam tata kekerabatan, semua orang Batak harus berperilaku 'raja'. Raja dalam tata kekerabatan Batak Toba bukan berarti orang yang berkuasa, tetapi orang yang berperilaku baik sesuai dengan tata krama dalam sistem kekerabatan Batak Toba. Maka dalam setiap pembicaraan adat selalu disebut Raja ni Hulahula, Raja ni Dongan Tubu dan Raja ni Boru. Falsafah tersebut masih berlaku dan dipegang teguh oleh masyarakat Batak Toba



Tidak ada komentar:

Posting Komentar